Tugas Introduction to Linguistics. Membuat cerpen, cinta :p
CAPPUCCINO
Written by : Fairisha Embriany
Waktu
tak pernah memberi kesempatan untuk bertemu, pertemuan kita tidak ditentukan
oleh waktu, tapi keyakinan akan takdir yang membawa kita bertemu disuatu waktu.
– 1
Dhani melipat kertas yang baru
ditulisnya diam-diam dan menyelipkan kertas itu ditumpukan buku milik gadis
yang duduk didepannya. Miki sibuk menyeka kacamatanya yang buram akibat uap
hangat dari wajahnya.
“Miki, aku kekelas dulu, ya.
Pastikan kamu membaca semua buku ini.” Dhani pergi meninggalkan Miki yang
mengangguk malas.
“Kalau bukan karena ini, mana
mungkin aku bisa bertemu dengan Dhani, tapi sekarang dia malah pergi” Miki tanpa
sadar menggerutu dalam hati. Ia mengemasi buku-buku yang belum sempat dibacanya
kemudian pergi meninggalkan perpustakaan.
---
Miki berjalan menyusuri lorong
kelas. Kepalanya menoleh kedalam kelas yang baru saja dilewatinya. Ia mendapati
Dhani menghadap sisi lain kelas sambil membaca bukunya. Baru saja Miki
memalingkan wajahnya, Dhani melihat Miki yang melintas didepan kelasnya. Dhani
menuliskan sesuatu pada secarik kertas kecil.
Kekagumanku
atas kamu lebih dari yang pernah bola mataku lihat sebelumnya – 2
Dhani membuka tabung tinta pulpen
yang digunakannya kemudian menggulungkan kertas yang baru saja ditulisnya pada
tabung itu kemudian memasukkannya lagi kedalam pulpen. Ia tersenyum sambil
memegang erat pulpen berisi tulisannya.
---
Ponsel Miki berbunyi. Lamunannya
terhentak seketika. Ia merogoh sakunya.
“Apakah
kamu sedang menunggu inspirasi?” Miki
tersenyum melihat layar ponselnya. Ia menyisirkan pandangan kesekelilingnya
mencari sipengirim kemudian membalas pesan itu.
“Inspirasi mungkin tidak datang begitu saja, bagaimana kalau kamu yang
datang menemuiku?” Miki menggenggam erat ponselnya yang tidak sampai satu
menit kemudian berbunyi lagi.
“Bolehkah?”
Belum sempat Miki mengatasi
keraguannya membalas sms itu, seseorang datang dan duduk disampingnya.
“Kamu sudah selesai membaca buku
yang tadi siang?”. Miki kaget melihat Dhani yang menghampirinya. Tanpa sadar Ia
menggenggam erat ponselnya.
“Hm? be..belum. Tinggal buku Kumpulan Cerpen Lama yang belum aku
baca.”
Dhani mengangguk. Bola matanya
naik keatas menandakan ia teringat sesuatu. Ia ingat telah menyelipkan sesuatu
dibuku itu. Miki menahan napas membalas pesan yang belum sempat dibalasnya.
“Sungguh,
aku ingin menemuimu”
Tulis Miki ragu-ragu.
“Boleh aku lihat perkembangan
cerpen kamu?” Dhani menadahkan tangannya kearah Miki. Miki mengangguk dan
mengambil buku catatan disampingnya kemudian kembali sibuk melihat ponselnya.
Dhani kemudian membacanya. Tidak sampai satu menit Ia membaca, Dhani
mengeluarkan pulpennya.
“Kurasa, kata ini agak aneh.
Bagaimana menurut kamu?” Tanya Dhani sambil melingkari kata menyoba yang ditulis Miki dibukunya.
Miki memiringkan kepalanya heran.
“Menurut kamu apa?”
“Mencoba?” Tanya Dhani memastikan
jawabannya. Miki cengengesan dan mengganti kata yang ditulisnya. Ponsel Miki
berbunyi lagi. Baru saja Ia hendak membacanya, Dhani berdiri.
“Aku pulang dulu, ya. Sepertinya
kamu sedang sibuk” Dhani tersenyum dan membenarkan letak ransel dipundaknya. Miki
kebingungan, Ia hanya bisa mengangguk. Dhani pamit dan meninggalkan Miki
sendirian dalam kebingungan. Miki tersadar dan membuka pesan yang belum sempat
dibacanya.
“Mungkin
lain kali” Miki
menghela napasnya kecewa.
---
Miki melanjutkan naskah cerpennya
dibawah sinar bulan purnama. Ia menerawang jauh ke angkasa. Heran mengapa bulan
begitu terang, sedangkan inspirasinya masih saja kelam. Bel rumahnya berdenting
tiga kali. Ia bergegas membuka pintu.
“Dhani?”
“Daritadi aku lihat kamu,
sepertinya masih menunggu inspirasi” Jawab Dhani sambil menyodorkan satu gelas styrofoam Cappuccino hangat kepada Miki.
Miki mempersilahkan Dhani masuk
menuju tempat Ia menerawang sebelumnya, halaman beratap langit yang terdapat sebuah
meja dan bangku kayu beraroma bunga mawar yang tumbuh menghiasi pinggiran
halaman itu.
“Jadi kamu lihatin aku dari
sana?” Tanya Miki tertawa sambil melihat rumah tingkat dua yang berada
diseberang rumahnya. Dhani tertawa.
“Sudah lama aku tidak kesini,
tempatnya masih sama, pemandangannya juga masih sama, hanya kamu yang terlihat
berbeda” Ujar Dhani menyapu pandangannya sekeliling sambil mengingat apa yang
pernah dilihatnya.
“Iya,” Miki mengangguk. “Rasanya
dulu kita selalu dekat, sedekat rumahku dengan rumahmu, tapi entah kenapa saat
itu kita bisa jauh, sejauh aku menatap bulan, seperti ini” Ujar Miki tersenyum
sambil melihat bulan.
“Kita tumbuh dewasa, Mik. Mungkin
waktu kita kecil dulu kita terlihat sama, tapi ada saat dimana kita berkembang
secara berbeda. Disaat itulah kita canggung untuk bermain bersama” Dhani dan
Miki tertawa menyadari fakta bahwa pertemanan mereka sempat terputus karena hal
sepele.
“Tapi syukurlah sekarang kita
bisa berteman seperti dulu lagi,” Miki menghela napas lega. Dhani tersenyum
melihat Miki tersenyum.
Dhani melihat buku yang
berserakan diatas meja. Ia melihat buku Kumpulan
Cerpen Lama terletak jauh dari jangkauan Miki. Ia membuka buku itu dan
mendapati kertas yang diselipkannya masih seperti semula, kemudian Ia
menutupnya lagi.
“Kamu belum membaca buku ini,
ya?” Tanya Dhani sambil memperlihatkan buku itu.
“Hehe, belum. Oh iya, pulpen kamu
yang tadi sore ketinggalan, Dhan” Miki menyodorkan pulpen kepadanya. Dhani
melirik kearah pulpen itu. Ia tersenyum.
“Pegang saja dulu, Mik, selama
ini pulpen itu yang menulis karyaku, mana tahu dia bisa membantu kamu juga” Dhani
menolak pulpen itu.
Terlintas dibenak Miki, pulpen
ini yang menulis karya-karya Dhani. Dhani, cerpenis muda berbakat dan terkenal.
Miki tidak menyangka bisa berteman dengannya, menjadi tetangganya, diajari
menulis olehnya, bahkan Miki punya kesempatan untuk memakai pulpen berharganya.
Ia kagum pada sosok sahabat masa kecilnya, sosok Dhani, seseorang yang berada
dihadapannya.
“Ya sudah, kalau kamu tidak
keberatan, boleh aku gunakan?” Ujar Miki. Dhani mengangguk setuju.
“Kalau begitu aku pulang, ya.
Kamu harus menyelesaikan cerpen kamu secepatnya.” Dhani bersiap-siap bangkit
dari bangku kayu yang didudukinya.
“Tunggu, Dhan!” Tahan Miki sigap.
“Sebelum kamu mulai untuk
menulis, hal apa yang biasa kamu lakukan? Kurasa, aku terlalu sulit untuk
mendapatkan inspirasi”
“Hm, cobalah kamu mulai membaca
buku itu, tiap inspirasi yang kamu dapatkan, tuliskan pada buku catatanmu. Kalau
kamu mulai bosan, teguklah minuman yang aku bawakan tadi. Mungkin itu bisa
membantu, walau sedikit” Dhani tersenyum misterius, namun Miki mengangguk seolah
paham apa yang dikatakannya.
Miki mengantarkan Dhani sampai
kedepan pintu. Ia melihat Dhani masuk dan menghilang dibalik pintu rumahnya
diseberang jalan. Ada perasaan senang dan bangga menyelimuti hatinya mengetahui
Dhani baru saja kembali mengunjungi rumahnya.
---
Miki kembali duduk dibangku kayu
dan menghela napas panjang. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum mengikuti
instruksi dari Dhani. Ia meraih buku Kumpulan
Cerpen Lama dan membukanya. Sehelai kertas berlipat meluncur dari halaman
pertama yang dibukanya.
Waktu
tak pernah memberi kesempatan untuk bertemu, pertemuan kita tidak ditentukan
oleh waktu, tapi keyakinan akan takdir yang membawa kita bertemu disuatu waktu.
– 1
Miki membaca kertas itu dan
terdiam sejenak. Kemudian Ia tersenyum seolah mendapatkan inspirasi. Miki
meraih pulpen yang diberikan Dhani dan mulai menulis sesuatu. Ia tiba-tiba saja
teringat dengan masa kecilnya dulu saat bermain bersama Dhani. Miki menuangkan
kisahnya ke atas kertas dengan cepat.
Bukan
jarak yang memisahkan kita, tapi mengapa raga ini terasa begitu jauh? Bukan
benci yang membuat kita terpisah, tapi kenangan masa lalu mampu membawa kita
bisa kembali bersama..
Miki terdiam sejenak. Ia
menyadari ada sesuatu yang aneh pada pulpen Dhani. Apa mungkin pulpen ini
mempunyai kekuatan magis sehingga Ia bisa begitu lancar menulis. Ia berhenti
dan memperhatikan pulpen itu dari dekat. Ia mendapati kertas bergulung melilit
tinta itu. Penasaran ia segera membukanya. terdapat tulisan didalamnya.
Kekagumanku
atas kamu lebih dari yang pernah bola mataku lihat sebelumnya – 2
Miki tertegun. Apakah
kertas-kertas ini datang begitu saja? atau memang ditujukan untuknya? Miki mulai memainkan segala kemungkinan
imajinasi yang mungkin saja sedang terjadi , Ia melirik kearah gelas cappuccino
yang mulai dingin. Ia melihat ada secarik kertas ditindih dibawah gelas itu.
Kamu,
dirimu, tak hilang dari ingatanku. Senyum asimetris yang selalu kamu pamerkan
padaku, sulit untukku melupakannya – 3
Jantung Miki terasa
berdebar-debar. Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Ha.. Halo” Sapa Miki gemetaran.
“Apakah kamu mau mendengarkan
kelanjutan penggalan puisi-puisi itu?” Ujar seseorang diseberang telepon.
Miki melirik layar ponselnya. Itu
adalah nomor misterius yang selama ini menghibur dirinya. Tanpa tahu siapa itu,
Miki tidak keberatan. Namun saat ini, Ia bingung harus mengatakan apa. Ia
mengarahkan pandangannya ke rumah tingkat dua diseberang rumahnya. Ia melihat
sosok laki-laki manis duduk diberanda sambil memegang telepon.
“Dhani?”
“Iya, Mik. Ini aku,” Miki
terkejut. Ia mendengar suara lembut Dhani menggema ditelinganya.
“Apakah boleh kamu membukakan
pintu rumahmu sekali lagi? Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Ujar Dhani
sambil melihat Miki dari kejauhan. Dhani masuk kedalam rumahnya. Miki pun
bergegas menuju pintu rumahnya.
---
Bel rumah Miki berbunyi sekali.
Miki langsung membuka pintu. Suasana terasa canggung. Miki menarik diri keluar
dan menutup pintu rumahnya.
“Tadi sore, saat bersamaku,
bagaimana bisa kamu mengirim pesan tanpa aku ketahui?” Tanya Miki tiba-tiba.
“Aku yakin selama ini kamu
berpikir itu aku, dan kamu hampir berhasil membuatku mengaku. Maaf ya Miki,
tadi sore aku hanya ingin tahu reaksi kamu, seandainya penggemar rahasiamu
bukan aku” Ujar Dhani sambil menunduk malu.
Miki merasakan dadanya berdesir,
seolah darah mengalir deras dijantungnya. Dhani yang berdiri didepannya saat
ini bukanlah Dhani sepuluh tahun lalu. Ia tidak bisa tertawa begitu saja
menanggapi pengakuan Dhani.
“Kamu tidak perlu mengatakan
apa-apa, Mik. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku selama ini,” Dhani menatap mata
Miki dalam. Ia menarik napas panjang dan memulai pengakuannya.
“Masa kecil kita sulit untukku
menghapusnya, kenangan kita terlalu indah untuk menjadi sebuah ingatan. Kamu
tahu, setelah itu adalah masa yang sulit aku lewati. Harus terpisah denganmu,
tak bisa aku melakukannya. Selama ini, dengan menulis cerpen tentangmu-tentang kita-bisa
membuatku bertahan. Bahkan dengan itu pula aku bisa kembali dekat denganmu. Aku
bersyukur dengan semua ini. Dengan kamu sebagai bagian terpenting dalam
hidupku” Dhani mengepalkan tangannya menahan dingin angin malam yang menusuk.
Miki hanya diam mendengar perkataan Dhani.
Kekakuan mereka terpecah ketika
mendengar suara langit yang mulai menderu pertanda akan hujan. Tak lama, hujan
mulai turun satu demi satu semakin lama semakin deras. Miki masuk kedalam
rumahnya meninggalkan Dhani di teras sendirian. Dhani terlihat kecewa berat dan
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Kamu kenapa?” tanya Miki heran melihat
Dhani yang menutup wajahnya. Dhani menarik tangannya. Ia terkejut melihat Miki sudah
siap dengan jas hujan dan payung yang sudah terbuka ditangan kirinya. Miki juga
membawa sesuatu dalam kantong plastik ditangan kanannya.
“Hari sudah malam, cuaca juga
tidak cerah. Kurasa, disaat seperti ini, tidak cocok untuk mengungkapkan
perasaan cinta kepada seseorang,” Ujar Miki tersenyum sambil menarik Dhani
kedalam bentangan payung merah mudanya. Ia mengantar Dhani sampai didepan
rumahnya.
“Aku yakin, sulit membuat
pengakuan seperti itu. Mengingat kamu melakukannya untukku, aku ingin kamu
meminum ini, aku sudah memanaskannya untukmu” Miki mengeluarkan segelas
styrofoam berisi cappuccino hangat milik Dhani yang tertinggal dirumahnya.
“Aku pulang dulu ya,” Pamit Miki.
Keduanya terlihat tersipu malu.
Tidak sampai 5 detik, Miki sudah berada didepan pintu rumahnya. Ia melambaikan
tangan kearah Dhani yang membalas dengan senyuman manisnya. Dhani melihat Miki
masuk kedalam rumahnya. Ia pun masuk kedalam rumahnya.
---
Dhani mengganti pakaiannya yang
basah terkena percikan air hujan. Ia melihat kearah gelas yang diberikan Miki.
Terdapat tulisan kecil disisi lain gelas itu.
Cappuccino
ini mungkin tak selamanya hangat. Tapi saat aku bersamamu, semua begitu hangat
dan manis rasanya.
Dhani tersenyum bahagia membaca
tulisan itu. Ia langsung menyambar dan mencari nama di daftar kontak ponselnya.
‘MIKI’
---